Kamis, 12 April 2012

Merekam Minor

Sabtu 31 Maret 2012, saya berkesempatan lagi untuk turut serta menampilkan karya fotografi saya dalam naungan UFO UGM. Kembali berkarya dengan teman-teman seperjuangan yang sudah selama hampir 2 tahun bersama. Pameran ini terselenggara atas dasar dorongan dari para tetua di UFO. Dorongan yang sangat keras sekali, sampai akhirnya pameran ini pun terselenggara. Bukan sebuah pameran seperti pada umumnya, kami para artis menyelenggarakan pameran ini tanpa panitia. Pantia rangkap jadi artis, khas mahasiswa. Namun dibalik kemasan yang sederhana dari pemilihan tempat yang hanya di Ruang Sidang I gelanggang mahasiswa juga, publikasi yang dilakukan dalam waktu yang singkat. Percayalah kami mempunyai angan yang besar atas terselenggaranya pameran ini, namun apa daya manusia jika sudah terbentur masalah dana.
17 artis, 17 karya bertemakan minoritas. Saya tidak terlibat dalam pemilihan tema, tapi saya tahu pasti butuh waktu lama bagi saya untuk menentukan apa yang akan saya angkat. Cukup lama, bahkan terasa sangatlah lama bagi saya dari pemilihan konsep hingga proses eksekusi itu sendiri. Karena keteteran oleh kegiatan kuliah saya sempat menelantarkan pameran ini, bahkan sempat datang kuratorial tanpa konsep sama sekali dikepala. Saya sangatlah payah!
Begitu banyak kejutan di pameran ini, sampai-sampai saya lelah bertanya 'sekarang apa lagi?!' Singkat cerita akhirnya konsep saya disetujui dan saya mulai menggarapnya. Ingin menyoroti anak-anak downsyndrome dengan cita-citanya. Berbagai kesulitan menemukan alamat pasti yayasan downsyndrome di jogja, akhirnya saya memutuskan untuk beralih ke anak-anak difabel. Lama saya bergelut di sekolah anak-anak berkebutuhan khusus ini, mulai dari soal perijinan, pendekatan, dan pergolakan batin pribadi. Lama saya disini tidaklah memakan waktu berbulan-bulan, hanya sekitar 4-5 hari namun proses eksekusi tidaklah berjalan sesuai keinginan saya.
3 kali kunjungan saya ke sekolah sama sekali tidak membuahkan hasil, saya lebih banyak merenung dan memperhatikan. Saya sibuk merasa tidak enak hati, dan bertanya-tanya 'gimana kalau saya yang jadi orangtua mereka? ijinin orang kayak saya motret anaknya nggak?' Perasaan-perasaan sungkan seperti itulah yang merundung saya. Tapi untunglah saya punya teman-teman yang baik dan mau datang mensupport saya. Tidak akan saya lupakan bagaiamana salah satu teman saya berkata 'nanti kalau aku punya anak difabel, aku ga bakal malu. Kalau orang kayak kamu dateng aku bakal dengan seneng hati nerima karena anakku spesial'. Inilah titik balik saya, pembicaraan dilorong sekolah waktu itulah yang akhirnya membuat saya akhirnya mulai memotret.
Walaupun tidak berhasil mendapatkan anak-anak dengan wajah mongoloid tapi saya tetap bersyukur. Saya mengambil 3 orang anak, Anis, Kevin, dan Dion. Dengan tema foto yang berbeda, dua diantara 3 saya puas akan hasilnya. Namun kurator pameran kami memilih ketiganya, saya senang sekaligus terkejut karena tanggapannya terhadap karya saya positif. Sampai saya bertanya-tanya jangan-jangan ada kejutan lagi.
Tentunya kalau hidup ga ada kejutan bukan hidup namanya. H-1 malam saat pendisplayan karya. Disaat ketiga karya saya sudah di frame, ada permintaan dari kurator soal mounting dan frame, kemudian saya bersiap mengganti mounting. Kata teman saya dipanggil lagi sama kurator, saya kira becanda. Intinya ketiga karya sama dieliminasi dan hanya diwakilkan oleh satu foto saya. Dalam hati 'ini becanda kan?' sambil senyum ala joker.
Sebenarnya apa yang terjadi? Jadi H-1 pameran saya masih saja memotret. Kali ini saya berhasil mendapatkan anak downsyndrome. Semangat saya waktu itu 'Hajaaar bleh..'. Dengan proses kuratorial yang diluar kebiasaan, yaitu melalui bbm dan dilakukan pada waktu yang last minute akhirnya sang kurator memilih foto yang akhirnya menjadi karya yang dipamerkan. Saya dibuat tidak bisa berhenti tersenyum berkenalan dengan Arin anak perempuan spesial berumur 12 tahun dengan segudang bakatnya. Atau seperti yang kakaknya tulis 'Our cute little angle' ya Arin memang bagaikan seorang malaikat. Ia bernyanyi dan menyanyi dengan penuh penghayatan didepan saya, tidak ada bedanya dia dan anak lainnya. Arin itu spesial :)

Minoritas: (Tak) Melulu Citra Marginal

2 April 2012 -Balairung Press




Petang itu, Titik Anomali terujud dalam potret dengan kumpulan noktah pada suatu preparat. Di antara belasan noktah yang didominasi merah jambu, kuning, dan jingga itu; dua titik secara kebetulan kehilangan warna. Dua titik berbeda di tengah bintik-bintik pancaragam itu mengajak pengunjung untuk berpikir, bahkan memancing mereka untuk bertemu langsung dengan Dian Ayu Aryani, sang fotografer. Untuk menghasilkan potret dari objek mikroskopis itu, dia mengaku memotret dengan bantuan mikroskop dan memfokuskannya pada preparat. Dian menjelaskan betapa dua titik tersebut menggambarkan kaum minoritas yang walaupun sudah disorot namun tetap saja menjadi kaum yang termarginalkan.

Keunikan pameran pun semakin tampak dengan ditampilkannya potret seorang gadis difabel yang dengan gigih melakukan gerakan tari balet. Perspektif diambil dari seorang gadis difabel di tengah bayang-bayang para balerina yang sedang menari dengan moleknya. Penggambaran emosi terekspresikan semakin kuat dengan latar belakang gelap dan air muka sedih yang tertampil dari wajah si balerina. Efek tersebut dengan sempurna menggambarkan pergolakan batin sang gadis difabel untuk menjadi bintang. Karena itulah potret yang berjudul Wish Upon a Star buah karya Satria Dewi Anjaswari ini menjadi adibintang dalam pameran tersebut.


Semakin larut, semakin berjubel pengunjung memenuhi Ruang Sidang I Gelanggang Mahasiswa UGM, Sabtu (31/3). Secara bergantian mereka mencerap satu persatu potret yang dipamerkan. Sesekali, mereka menghentikan langkah untuk melihat bagaimana potret kaum minoritas tertampil melalui alat musik underground yang berdampingan dengan karya sang fotografer. Pun, panitia penyelenggara berhasil menyulap ruang pameran dengan penuh nuansa sentimental. Lampu remang setinggi ubun-ubun pengunjung digantung di depan setiap karya. Potret-potret saling berangkaian antara objek manusia dan objek benda dalam wujudnya sebagai yang terlupakan.

Selama ini, “Minoritas” menjadi istilah yang cukup populer dalam menggambarkan golongan yang justru tidak populer. Persoalan dari golongan yang diminorkan selalu muncul ke permukaan, namun pada akhirnya mereka akan selalu menjadi kelompok yang terpinggirkan. Inilah yang membuat UKM UFO mengangkat “Minoritas” sebagai tema yang layak diusung dalam pameran foto mereka.

Sebagian besar karya dalam pameran ini berefleksi pada keseharian yang berkelindan dengan betapa majemuknya aspek kehidupan masyarakat. Beragam sudut pandang ditonjolkan dari kaum minoritas. Fotografer berhasil menuangkannya ke dalam potret-potret yang membidik komunitas, musik, lingkungan, budaya, difabel, gender dan keagamaan menjadi karya yang patut diapresiasi. Dari segi pengambilan potret yang detail, fotografer mengantarkan pesan-pesan itu dengan tanpa berusaha menjadi patron.

Seperti misalnya, di sudut kiri ketika memasuki ruang pameran, terlihat dua potret sepasang kekasih homoseksual berdekapan di bawah shower. Kisah homoseksual tersebut dirangkaikan dengan lanjutan potret, sepasang kekasih homoseksual lainnya yang bercumbu di dalam gelap. Adalah Tidak Bisa di Luar, jepretan Meirani Indrihastuti Khalik, yang mengisahkan bagaimana kaum homoseksual masih menjadi pergunjingan di tengah masyarakat Indonesia. Akibat ketatnya norma-norma sosial, mereka tidak mampu menunjukkan ekspresi mereka yang sesungguhnya; tampilan vulgar hanya bisa termanifestasikan di depan orang-orang yang bisa memahami mereka.

Modernitas yang menenggelamkan masyarakat ke dalam rutinitas dan kehidupan yang menjemukan pun turut menjadi sasaran potret. Tak khayal, potret buah karya Nur Aditya Rizali menyuguhkan nostalgia terhadap permainan tradisional. Ketapel, yoyo, gangsing, dan pistol kayu mewakili bentuk-bentuk dolanan yang kian terpinggirkan. Potret berjudul Mainanku ini seakan hendak menceritakan bagaimana dolanan khas daerah tersisih dari arus perkembangan teknologi dengan membandingkannya pada permainan modern stick Playstation.

Tak berhenti pada konflik kesenjangan sosial, kesenjangan bentuk tubuh pun menjadi pilihan objek potret. Seorang pria obesitas didaulat sebagai model dalam pameran kali ini. Potret dengan ukuran besar itu dipajang di tengah fitting room dengan ornamen dua celana jeans berukuran small tergantung di depannya. Selain bersesakan di tengah fitting room, di sana ia terlihat kesulitan menarik risleting celananya. Potret yang berjudul “No Size for Me” buah karya Faizal Afnan ini menceritakan bagaimana orang-orang dengan ukuran tubuh besar acapkali kesulitan mencari pakaian karena bentuk tubuhnya yang tidak umum.

Kerja keras para fotografer dalam mengumpulkan kisah-kisah minoritas ini merefleksikan kepedulian atas fenomena mereka yang terpinggirkan dan terlupakan dalam realita masyarakat. Melalui potret-potret itu, para fotografer hendak membangun kesadaran pengunjung untuk saling mengapresiasi keragaman, sekalipun dalam bentuknya sebagai minoritas.[Danny Izza, Farah Dinna Pratiwi]